Selasa, 05 Juli 2011

Sebaris Hujan Sebait Cinta........

Pada sebaris hujan, kita masuki cakrawala
dengan payung terbuka
tanpa layung senja. Terpa angin meninggalkan
jejak dingin di dada.
Engkau menggigil di jantungku.
Jutaan tetes air beterbangan
seperti tangis terbebas dari kesedihan
seperti bungabunga
tumpah dari jambangan. Mengisi hatimu yang bimbang
mengubah rintihmu jadi tembang. Rintik merdu.
Sebulir hujan menggantung di ujung payung
seukir kilau, sesafir cahaya
yang tersimpan. Sebutir doakah?
Kumasuki kelambu hujan
Airmatamu menggenggam rindu.
Waktu mendesak. Serasa singkat.
Rembang pun lewat, saat benderang lampulampu
… dan hujan berpamitan  di ambang senja
perlahan menutup payung kita
dengan kecupan.

ciuman Pertama....

Ciuman pertamaku
masih kausimpan di lekuk bibirmu
malumalu getaran itu
anggun melewati rimba waktu
mengisi rongga dada dengan hangat kelambu
melebihi kelepak matahari pada birahi
senja yang ungu.
Limabelas tahun berlalu
ciumanku masih menghias senyummu
biarkan di sana, aku memintamu  tak menghapusnya
sebab di sanalah kuarungi samudera kenangan
di pantaimu aku terdampar. Melebihi kelepak camar
setia menyamar sebagai waktu.
Aku menyebutnya cinta.

Kutemukan Puisi Dalam Sebait Cinta

Tetes hujan yang melambai di kaca jendela ia mencari alamat sungai. Aku mencari alamat hatimu. Kutemukan telaga: sebuah genangan sunyi, tanpa ombak tanpa nyanyi, lalu kutenggelam dalam bening puisi. Itulah yang istimewa tentang dirimu, ketika segayung hujan membasuh telapak tanganmu, aku terhanyut di situ, lautan teduh dekapanmu. Maka aku menyamar hujan, memelukmu deras, mencium parasmu dengan kecup rintik yang tak pernah tuntas.

Di telapak tanganmu aku mengembara tanpa berhenti, menyusuri garisgaris sungai keberuntunganku. Setiap garis adalah makna. Membawaku pada muara bernama cinta. Aku di situ melukis sawahsawah yang menguning dengan jejak hidupku. Rerumputan, ilalang, kenangan, dan bunga-bunga rindu. Airmata dan semesta. Hujan dan doa. Membentangkan tenda cahaya tempat kita menghabiskan waktu dan bara. Setiap bintang adalah karunia. Setiap titik waktu yang aku petik untukmu.

Aku ingin menulis seperti sebaris embun yang kauselipkan pada seliris kuntum di bibirmu. Cukup manis walau hanya sebait senyum. Kutahu, puisi tak selalu tercipta dari kata. Tetapi hanya dengan kata kumampu menceritakan puisi ini padamu.

Senin, 04 Juli 2011

Bukalah Pintu Maaf,....

Bukalah pintu maaf untuk embunku
agar ku dapat mengusir kebekuan di kelopak-kelopakmu
menceritakan keindahan pagi yang dititipkan mentari
dalam bias cahayaku.
Bukalah pintu maaf untuk langitku
agar ku dapat menggiring awan untuk memayungimu
mengirimkan kedamaian yang dititipkan barisan merpati
dalam paruh nafasku.
Bukalah pintu maaf untuk senjaku
agar ku dapat hilangkan bimbang dan cemasmu
merias paras soremu lewat selendang jingga yang ditiup angin
memelukmu rapat hangat menghabiskan rasa ingin.
Bukalah pintu maaf untuk kelamku
agar tiada mimpi buruk hanya ada malam indah untukmu
menyalakan unggun membakar melupakan kenangan lara
menggantinya dengan bara cinta yang bergelora.
Bukalah pintu maaf untuk gerimisku
agar ku dapat menjadi airmatamu, menitikkan kasih di hatimu
menghapus goresan-goresan pedih di dinding hati
menggantinya dengan garis-garis pelangi.

Cinta Ini Hanya Berakhir Di Hatimu......

Pelangi berkilau di langit jauh
teduh mengambang menjalin untai gerimis
gradasi warna adalah selendang para bidadari
yang menarinari digelitik angin bukit
dan kamu, yang turun ke dalam jiwaku.
Sungguh indah rahasiamu
semburat merah di wajahmu. Cinta itu. Di senja itu
pohonpohon waru berebut menjadi bayanganmu
lalu melukisnya di dadaku. Untuk kudekap
agar cinta tak ke manamana dari hatimu.
Jangan lagi kaurisaukan
cinta ini hanya berakhir di hatimu
sungai yang mengalirkan kejernihan jiwa
melewati rimba waktu dan padang penuh bunga
aku, yang selalu hanyut bersamamu.

Melukis Puisi Di Matamu........

Matamu sepasang coklat tua yang teduh. Memandangmu, seperti rindang pepohonan di tengah kolam seroja. Aku tercebur. Jatuh dan mencintaimu. Dan cinta: berpendar dalam berjuta pixel warna. Memancar di percik cipratan airmatamu.
Dan di sejuk tatapanmu, aku melukis puisi. Sebab di sana ada spektrum cinta. Membuat rindu seteduh biru lautan yang anggun menyusun ombak gemuruh. Membuat kecemasan membias ungu seperti langit malam menunggu bintangbintang berlabuh.
Membuat harapan secerah mentari di jendela subuh. Yang membuat merah wajah kita, setiap kali tak dapat menahan dahsyatnya ledakan jantung. Dan seikat pelangi mencercahkan seluruh warna dalam satu goresan senyum.
Bulu matamu yang lepas, biar kujadikan kuas, hanya agar semua terlukis seindah rindu padamu. Kutahu tanganku tak mampu menoreh warna selembut tatapanmu, menggoreskan kata selembut ucapan mu. Tidak juga mataku dan tidak juga mulutku.

Walau.............

Walau mulutku sampai berbusa tanpa bosan menyanjungmu
aku tak kehabisan kata karena kamu adalah bahasa cintaku.
Walau telingaku sampai pekak memainkan musik untukmu
aku tak kehabisan nada karena getarannya adalah rindu padamu.
Walau mataku sampai rabun membacakan ribuan puisi untukmu
aku tak kehabisan cahaya karena kamu adalah pelitaku.